I
Tergerus badai…
Dipanggang congkak jilatan sang surya
Mencekik leher haus yang terkulai
Tanah kering ini adalah aku!
Meratapi kisah pada senja…
Seperti mengasah belati di ujung lidah
Kemarauku mengetuk tulang rusuk
Aku musim tanpa tanda tanya!
Selaksa camar anggun melayang,
masih saja setia pulang di ujung hari.
Dan bulan yang mengukir bayang-bayang,
tetap terus menggigit tepian hati.
Pulau demi pulau terlewati
Dalam tatapan yang kian mengabur.
Di geladak kapal masih teronggok tumpukan peti
Berisi harapan yang menghablur.
Pada bibir laut kutundukkan hati
Menikmati heningnya peraduan tanpa kisah
Kupertemukan jeda dengan setengah diri yang hanyut
Sepi adalah pantulan raga untuk labirin-labirin kelelahan
Pada bibir laut kusesapi diri
Menyelimutkan bintang-bintang untuk gulitanya malam
Aku menginginkan diriku terjaring jala-jala nelayan yang mencari
Sebait syair tulusnya cinta adalah pengharapan kesekianku akan keberadaan
Setapak berliku di pasir pantai-
Selalu menarik kaki-kaki terbelit rantai
Memaksa jiwa yang kurus mendaki ngarai-
Ditendang sinis tatapan kadal yang mengintai
Bukit ini penghabisan -jemari tangan sudah kaku-
Darah ini penasbihan -matahari terhisap kelam-
Sunyi mempertegas beku,
Ketika sukma tenggelam.
ditulis oleh Yayag Yp & Rey Prameshwara
Setelah sekian lama gak baca ulang puisi ini, ternyata tingkat emosi penulis bisa begitu saja teraba ya mas? Bener gak mas? Hehehe...
BalasHapusHehehe.. Bisa saja seperti itu, Mbak Yayag. Tergatung seberapa peka orang yang membacanya. Ya kan?
Hapus