Hal yang paling menggairahkan tentang puisi adalah sekali kau benar-benar masuk ke dalamnya maka kau takkan pernah menemukan jalan keluar.
(Rey Prameshwara)

Jumat, 14 September 2012

Purnama di Gerbang Malam

Aku pernah di sana.
Di atas batu itu.
Duduk dipeluk beku.
Air sungai mencumbui ujung kakiku.
Dinantikan purnama.
Pantulan cahayanya pucat di riak air
melukis cerita yang mengalir
tentang kembang pagi berbau getir
yang disejuki angin semilir.
Semua kisah masih ada.
Senja belum lagi akan tiba.

Aku pernah di sana.
Di atas bangku kayu.
Duduk ditikam waktu.
Tak hirau pada bebatuan tertutup perdu.
Bertutur pada purnama.
Tentang lagu irama salsa di pentas siang
dan tarian pena di kertas usang
juga rumah kecil di tengah padang
yang dulu selalu kita kenang.
Aku menunggui purnama dalam resah
karena tahu senja akan turun.

Aku pernah di sana.
Di beranda rumah tua.
Memandangi purnama yang sesekali disaput awan.
Cahayanya terang
memantulkan resahnya petang.
Riuh kawanan burung pulang ke sarang
mengundang hadirnya bintang-bintang.
Aku menggapai purnama yang baru datang.
Senja belum lagi jadi kelam.

Aku tak lagi di sana.
Di kamar tanpa suara.
Tak lagi bisa berbisik lirih pada purnama.
Cerita tentang malam-malam penuh sajak.
Dan angin dinginnya yang mengantar elegi.
Kini aku di sini dan hanya bermimpi
tentang purnama di langit tinggi.

Purnama putih-perak makin jauh beranjak.
Senja sudah lama usai.
Namun cerita belum selesai.
Purnama didekap gelap.
Senja diterkam malam.



ditulis oleh Rey Prameshwara

Tidak ada komentar:

Posting Komentar